Kemarin, 1 Mei 2009, diperingati hari buruh. Di Jakarta, hari buruh diperingati dengan mengadakan demonstrasi di beberapa lokasi. Menurut data kepolisian, terjadi sebanyak 19 unjuk rasa di seluruh Jakarta. Beberapa lokasi yang menjadi tempat berunjuk rasa di Jakarta antara lain; Bundaran Hotel Indonesia, depan Istana Presiden, Tugu Proklamasi, kantor Depnakertrans, Patung Kuda (Bundaran Bank Indonesia), Tugu Proklamasi, Kompleks Walikota Jakarta Pusat dan Kantor PLN Pusat.
(foto : demo buruh di bundaran hotel indonesia)
Meski terjadi 19 unjuk rasa, suasana di Jakarta tetap dalam kondisi kondusif.
Menurut
kamus besar bahasa indonesia, buruh berarti
orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Sedangkan, upah berarti
uang yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. Sehingga, buruh dapat diartikan sebagai orang yang bekerja dengan pihak lain dengan mendapakan uang sebagai balasan terhadap jasa atau tenaga yang dikeluarkan untuk mengerjakan tugas dari pihak lain tersebut. Dari pengertian tersebut seharusnya tak ada yang perlu dipersoalkan, karena memberikan hubungan
mutualisme alias saling-menguntungkan. Pihak lain atau perusahaan membutuhkan buruh untuk menjalankan bisnisnya, sedangkan buruh mendapatkan imbalan atas hasil jerih payah-nya. Jadi kenapa buruh sering berunjuk-rasa ? Sedangkan perusahaan jarang terdengar berunjuk rasa ?
Dalam industri modern, buruh sering dianggap sebagai pihak yang tidak memiliki hak untuk mencapai kesejahteraan. Pekerjaan buruh yang tidak membutuhkan keahlian yang khusus dan pendidikan yang tinggi membuat pekerjaan buruh kurang dihargai. Bahkan hari buruh sempat dilarang di era Suharto, karena buruh kerap dikaitkan dengan komunis yang sempat menguncang di tahun 1965.
Sistem kerja dengan sistem kontrak dan outsourcing membuat nasib buruh makin terpuruk. Sistem kontrak dalam jangka waktu tertentu yang mengikat buruh tidak secara permanen (tetap), membuat perusahaan bisa memecat buruh dengan alasan tidak memperpanjang kontrak buruh. Hal ini makin diperparah dengan adanya sistem outsourcing yang makin marak di Indonesia sejak krisis moneter 1998. Sistem outsourcing memungkinkan sebuah perusahaan menyewakan tenaga kerja ke perusahaan lain. Tenaga kerja yang disewa, menjadi tanggungan perusahaan penyedia dan perusahaan yang menyewa tidak bertanggung jawab atas nasib sang pekerja. Ahasil tenaga kerja outsourcing tidak akan memperoleh jaminan yang sama dengan pekerja dari perusahaan penyewa. Sistem ini dianggap mengancam keamanan dan kepastian posisi kerja para buruh, sehingga dikhawatirkan bakal terjadinya pemutusan kerja (PHK) besar-besaran.
Meski pemerintah telah menerapakan Upah Minimum Regional (UMR) untuk membantu nasib buruh, tetap saja merugikan buruh. Para buruh berangapan dengan kondisi ekonomi saat ini, penghasilan sesuai UMR tak akan mencukupi. Wajar jika dari tahun ke tahun tuntutan buruh nyaris sama, yakni :
penghapusan sistem kerja kontrak dan sistem kerja outsourcing.
pemberian upah kerja yang layak atau peningkatan upah minimum regional (UMR).
nasionalisasi perusahaan asing.
tidak menjadikan pemecatan buruh sebagai solusi krisis.
peningkatan jaminan atau tunjangan bagi buruh.
Selama ini nasib buruh memang kerap terpinggirkan. Penamaan buruh, memang tak sebaik citra karyawan. Meski upaya untuk meningkatkan nasib buruh telah dijalankan oleh pemerintah, nyatanya langkah yang ditempuh tidak efektif. Posisi tawar buruh yang rendah, menjadikan posisi pengusaha tak terkalahkan bahkan makin diuntungkan. Menarik untuk melihat langkah nyata dari pemerintahan yang terpilih dari pemilu 2009 mendatang. Sayangnya, sepertinya nasib sang buruh hanya sekedar jargon kampanye untuk menarik simpati. Hal ini terlihat dari terlupakannya nasib buruh saat kampaye legislatif telah terlewati. Daripada memperhatikan buruh, partai - partai sibuk mencari koalisi untuk berbagi kekuasaan. Malang-nya nasib sang buruh...
Artikel keren lainnya: