Trompet sumber malapetaka masyarakat Labuan telah kau bunyikan, mulai saat ini engkaulah target selanjutnya
Itulah bunyi sms yang dikirim Arief Rohmana (35 tahun) kepada Ibu Ani Yudhoyono. Arif adalah guru SMP Negeri 2 Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten. Arif mengirimkan pesan singkat tersebut kepada Ibu Negara karena merasa kesal lantaran rumahnya dilintasi kabel saluran udara tegangan ekstra tinggi atau SUTET.
Ahasil,karena sms itulah Arif harus rela menjalani pemeriksaan selama 18 jam di Polres Pandeglang dan Polda Banten. Bapak tiga anak itu dijemput oleh polisi saat masih tertidur lelap di rumah kontrakannya di Kampung Lebak Purut, Desa Kupahandap, Kecamatan Cimanuk, sekitar pukul 03.00 pagi. Setelah diperiksa dan diyatakan tidak bersalah akhirnya Arif dibebaskan pada hari senin pagi (31/8/09).
Kronologis
Kekesalan Arif dan mungkin warga Labuan lainnya dimulai saat pemerintah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) II Banten di desa Sukamaju, Kecamatan Labuan, Pandeglang, melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006. Dari awal pembangunan ini sudah mendapat protes dari warga sekitar yang khawatir lingkungannya akan rusak.
Jaringan SUTET yang melintasi Perumahan Griya Labuan Asri (GLA), tempat tinggal Arif sekeluarga, memancing kekesalan Arif dan warga sekitar. Protes pun ditujukan ke Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Provinsi Banten dan Presiden. Namun, surat keberatan warga tersebut tidak ditanggapi.
Tidak putus asa, Arief pun mengirim pesan singkat ke empat pejabat pelaksana proyek pembangunan PLTU II Banten. Hasilnya pun tetap NIHIL; tidak ditanggapi.
Hingga akhirnya Agustus 2008, Arief memperoleh nomor HP yang diyakini milik Ibu Ani Yudhoyono, istri presiden SBY. Arief pun mulai mengirimkan sms berisi keluhan serta permintaan agar pemerintah memperhatikan nasib korban SUTET. Upaya ini pun tak pernah ditanggapi.
Karena sekian lama tidak ditanggapi, Arief pun merasa geram dan mengirimkan pesan singkat yang bernada keras, dengan isi sms seperti di atas. Gayung pun bersambut. SMS Arief pun ditanggapi, sayangnya oleh kepolisian. Ia ditangkap oleh petugas Detasemen Antiteror (Densus) 88 dan Polres Pandeglang. Menurut Arief, penangkapan itu merupakan bentuk perhatian pemerintah karena berarti pemerintah mulai peduli akan perjuangan Arief.
Motivasi Arief
Keberadaan PLTU II Banten membuat perjalanan hidup keluarga Arief berubah. Dengan alasan kesehatan, ia terpaksa meninggalkan rumah di GLA yang sudah 11 tahun ditinggali. Kemudian pindah mengontrak rumah di Desa Kupahandap. Saat ditangkap, Arief baru 18 hari tinggal di rumah kontrakannya itu.
Bagi Arief berpindah rumah berarti bertambahnya pengeluaran. Ia harus membayar kontrakan rumah sebesar Rp. 2,5 juta per tahun atau Rp. 209.000 per bulan. Padahal, ia masih harus membayar cicilan rumah di GLA yang baru habis tahun 2015.
Sebagai guru SMP, Arief mendapat gaji sebesar Rp. 2,7 juta per bulan yang terpotong pinjaman ke bank dan koperasi kantor. Sisa gaji yang dibawa pulang hanya sekitar Rp. 430.000.
”Itu waktu masih tinggal di GLA. Kalau sekarang berarti sisanya kurang dari itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Arief berencana untuk menjual rumah miliknya di GLA, tetapi belum juga terjual. Padahal, ia sudah menawarkan akan menjual rumah itu sejak enam bulan yang lalu. Nilai ekonomis rumah-rumah warga di GLA memang menurun menyusul pembangunan SUTET. Satu unit rumah yang seharusnya bisa dijual dengan harga rata-rata Rp 75 juta kini sudah tidak ada harganya lagi. Bahkan, pemerintah pun hanya mau memberikan ganti rugi sebesar Rp 1,5 juta untuk warga yang rumahnya dilintasi kabel SUTET. Tidak ada yang lebih, hanya sebesar itu.
Motif penangkapan
Sementara itu, Kepala Polda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Rumiah menegaskan, penangkapan Arief sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembangunan PLTU II Banten. Suami dari Nuraeni (28) itu dimintai keterangan karena diduga telah melakukan teror dan mencemarkan nama baik Presiden.
”Yang bersangkutan ditangkap karena ada pengancaman terhadap Presiden dan mencemarkan nama baik,” tuturnya.
Menurut Rumiah, Arief sudah mengakui apa yang ia perbuat. Guru Matematika itu sudah meminta maaf kepada Presiden serta pihak-pihak yang terkait. Ia juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Namun, bagi Arief, ini merupakan babak baru perjuangannya untuk menyelamatkan korban SUTET. Malapetaka itu dijadikan cambuk untuk lebih keras memperjuangkan haknya sebagai manusia dan warga negara.
Mungkin inilah yang dinamakan buah simalakama "dimakan sial, tidak dimakan pun juga sial !"
Ahasil,karena sms itulah Arif harus rela menjalani pemeriksaan selama 18 jam di Polres Pandeglang dan Polda Banten. Bapak tiga anak itu dijemput oleh polisi saat masih tertidur lelap di rumah kontrakannya di Kampung Lebak Purut, Desa Kupahandap, Kecamatan Cimanuk, sekitar pukul 03.00 pagi. Setelah diperiksa dan diyatakan tidak bersalah akhirnya Arif dibebaskan pada hari senin pagi (31/8/09).
Kronologis
Kekesalan Arif dan mungkin warga Labuan lainnya dimulai saat pemerintah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) II Banten di desa Sukamaju, Kecamatan Labuan, Pandeglang, melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006. Dari awal pembangunan ini sudah mendapat protes dari warga sekitar yang khawatir lingkungannya akan rusak.
Jaringan SUTET yang melintasi Perumahan Griya Labuan Asri (GLA), tempat tinggal Arif sekeluarga, memancing kekesalan Arif dan warga sekitar. Protes pun ditujukan ke Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Provinsi Banten dan Presiden. Namun, surat keberatan warga tersebut tidak ditanggapi.
Tidak putus asa, Arief pun mengirim pesan singkat ke empat pejabat pelaksana proyek pembangunan PLTU II Banten. Hasilnya pun tetap NIHIL; tidak ditanggapi.
Hingga akhirnya Agustus 2008, Arief memperoleh nomor HP yang diyakini milik Ibu Ani Yudhoyono, istri presiden SBY. Arief pun mulai mengirimkan sms berisi keluhan serta permintaan agar pemerintah memperhatikan nasib korban SUTET. Upaya ini pun tak pernah ditanggapi.
Karena sekian lama tidak ditanggapi, Arief pun merasa geram dan mengirimkan pesan singkat yang bernada keras, dengan isi sms seperti di atas. Gayung pun bersambut. SMS Arief pun ditanggapi, sayangnya oleh kepolisian. Ia ditangkap oleh petugas Detasemen Antiteror (Densus) 88 dan Polres Pandeglang. Menurut Arief, penangkapan itu merupakan bentuk perhatian pemerintah karena berarti pemerintah mulai peduli akan perjuangan Arief.
Motivasi Arief
Keberadaan PLTU II Banten membuat perjalanan hidup keluarga Arief berubah. Dengan alasan kesehatan, ia terpaksa meninggalkan rumah di GLA yang sudah 11 tahun ditinggali. Kemudian pindah mengontrak rumah di Desa Kupahandap. Saat ditangkap, Arief baru 18 hari tinggal di rumah kontrakannya itu.
Bagi Arief berpindah rumah berarti bertambahnya pengeluaran. Ia harus membayar kontrakan rumah sebesar Rp. 2,5 juta per tahun atau Rp. 209.000 per bulan. Padahal, ia masih harus membayar cicilan rumah di GLA yang baru habis tahun 2015.
Sebagai guru SMP, Arief mendapat gaji sebesar Rp. 2,7 juta per bulan yang terpotong pinjaman ke bank dan koperasi kantor. Sisa gaji yang dibawa pulang hanya sekitar Rp. 430.000.
”Itu waktu masih tinggal di GLA. Kalau sekarang berarti sisanya kurang dari itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Arief berencana untuk menjual rumah miliknya di GLA, tetapi belum juga terjual. Padahal, ia sudah menawarkan akan menjual rumah itu sejak enam bulan yang lalu. Nilai ekonomis rumah-rumah warga di GLA memang menurun menyusul pembangunan SUTET. Satu unit rumah yang seharusnya bisa dijual dengan harga rata-rata Rp 75 juta kini sudah tidak ada harganya lagi. Bahkan, pemerintah pun hanya mau memberikan ganti rugi sebesar Rp 1,5 juta untuk warga yang rumahnya dilintasi kabel SUTET. Tidak ada yang lebih, hanya sebesar itu.
Motif penangkapan
Sementara itu, Kepala Polda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Rumiah menegaskan, penangkapan Arief sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembangunan PLTU II Banten. Suami dari Nuraeni (28) itu dimintai keterangan karena diduga telah melakukan teror dan mencemarkan nama baik Presiden.
”Yang bersangkutan ditangkap karena ada pengancaman terhadap Presiden dan mencemarkan nama baik,” tuturnya.
Menurut Rumiah, Arief sudah mengakui apa yang ia perbuat. Guru Matematika itu sudah meminta maaf kepada Presiden serta pihak-pihak yang terkait. Ia juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Namun, bagi Arief, ini merupakan babak baru perjuangannya untuk menyelamatkan korban SUTET. Malapetaka itu dijadikan cambuk untuk lebih keras memperjuangkan haknya sebagai manusia dan warga negara.
Mungkin inilah yang dinamakan buah simalakama "dimakan sial, tidak dimakan pun juga sial !"