Semenjak kejatuhan orde baru dan mundurnya Soeharto, negeri ini bertransformasi ke era reformasi. Semua yang diharamkan di era orde baru saat ini menjadi hal yang halal. Ibarat tali pengikat telah putus, semua menjadi bebas. Salah satunya adalah tentang berbicara dan berpendapat.
Kalau dahulu, demo adalah tabu maka sekarang menjadi lumrah atau wajar. Sayangnya, kebebasan berbicara dan berpendapat di negeri ini belumlah diiringi dengan peningkatan kedewasaan. Maksudnya, semua yang terjadi atau berita apapun cenderung menjadi polemik, kontroversi atau istilah gampangnya : dibuat ribut / ramai.
Contoh paling gress; adalah polemik kedatangan Miyabi ke Indonesia. Kedatangan seorang bintang porno asal Jepang ke negara penuh budaya seperti Indonesia mungkin memang kurang pas. Tapi kenapa orangnya tidak boleh datang tapi justru film pornonya banyak beredar di negeri ini ? Padahal ada UU anti pornografi yang pengesahnya juga diributkan. Hmm,,mungkin orangnya ngak boleh dateng tapi kalau filmnya boleh beredar lah...gitu ?
Oke, cukup tentang Miyabi. Apalagi sang bintang dipastikan batal datang ke Indonesia. Selesai. Titik.
Satu topik sudah selesai. Puas ? Belum, masih ada topik-topik lain yang ternyata juga enak untuk diributkan. Saat ini mulai muncul polemik Qory Sandioriva yang menang kontes Putri Indonesia 2009 tanpa jilbab. Padahal Qory berasal dari Aceh.
Yap, negara ini telah bertransformasi menjadi negara demokratis. Pemilihan umum langsung menjadi bukti sahit bangsa ini. Kebebasan dalam berpendapat dan berpikir akan menjadikan bangsa majemuk ini semakin majemuk. Dan ini juga sebaiknya juga diikuti dengan kemajuan pola pikir.
Selama ini perbedaan pendapat langsung dikomentari dengan pendapat yang cenderung menyerang; menyalahkan dan menghujat. "Anda salah, maka anda harus dihukum!" Kira-kira seperti itulah.
Ungkapan seperti itu justru bukan mendidik namun justru menjatuhkan orang/pihak yang dicela.Ya, ujung-ujungnya hanyalah pemaksaan pendapat. Merasa paling benar, maka pendapatnyalah yang harus dilakukan dan dijalankan. Tak jarang perbedaan pendapat diakhiri dengan bentrokan antar pihak yang bertentangan. Karena tidak ada yang mau mengalah dan memaksakan pendapat.
Padahal dengan adanya kebebasan, orang/pihak tertentu seharusnya bisa semakin menghargai orang/pihak lain. Mungkin bangsa ini memang sedang proses belajar, tapi bisa juga karena faktor-faktor lain, misal; kurangnya wawasan, pergaulan yang sempit, atau kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum.
Saya berharap,budaya "ribut" tak akan lama bertahan di negeri ini. Apalagi bangsa ini terkenal akan keramahannya ke seluruh dunia. Sudah saatnya bangsa ini untuk berpikir sejenak sebelum bersuara dan lebih arif dalam menilai suatu masalah.
Kalau dahulu, demo adalah tabu maka sekarang menjadi lumrah atau wajar. Sayangnya, kebebasan berbicara dan berpendapat di negeri ini belumlah diiringi dengan peningkatan kedewasaan. Maksudnya, semua yang terjadi atau berita apapun cenderung menjadi polemik, kontroversi atau istilah gampangnya : dibuat ribut / ramai.
Contoh paling gress; adalah polemik kedatangan Miyabi ke Indonesia. Kedatangan seorang bintang porno asal Jepang ke negara penuh budaya seperti Indonesia mungkin memang kurang pas. Tapi kenapa orangnya tidak boleh datang tapi justru film pornonya banyak beredar di negeri ini ? Padahal ada UU anti pornografi yang pengesahnya juga diributkan. Hmm,,mungkin orangnya ngak boleh dateng tapi kalau filmnya boleh beredar lah...gitu ?
Oke, cukup tentang Miyabi. Apalagi sang bintang dipastikan batal datang ke Indonesia. Selesai. Titik.
Satu topik sudah selesai. Puas ? Belum, masih ada topik-topik lain yang ternyata juga enak untuk diributkan. Saat ini mulai muncul polemik Qory Sandioriva yang menang kontes Putri Indonesia 2009 tanpa jilbab. Padahal Qory berasal dari Aceh.
Yap, negara ini telah bertransformasi menjadi negara demokratis. Pemilihan umum langsung menjadi bukti sahit bangsa ini. Kebebasan dalam berpendapat dan berpikir akan menjadikan bangsa majemuk ini semakin majemuk. Dan ini juga sebaiknya juga diikuti dengan kemajuan pola pikir.
Selama ini perbedaan pendapat langsung dikomentari dengan pendapat yang cenderung menyerang; menyalahkan dan menghujat. "Anda salah, maka anda harus dihukum!" Kira-kira seperti itulah.
Ungkapan seperti itu justru bukan mendidik namun justru menjatuhkan orang/pihak yang dicela.Ya, ujung-ujungnya hanyalah pemaksaan pendapat. Merasa paling benar, maka pendapatnyalah yang harus dilakukan dan dijalankan. Tak jarang perbedaan pendapat diakhiri dengan bentrokan antar pihak yang bertentangan. Karena tidak ada yang mau mengalah dan memaksakan pendapat.
Padahal dengan adanya kebebasan, orang/pihak tertentu seharusnya bisa semakin menghargai orang/pihak lain. Mungkin bangsa ini memang sedang proses belajar, tapi bisa juga karena faktor-faktor lain, misal; kurangnya wawasan, pergaulan yang sempit, atau kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum.
Saya berharap,budaya "ribut" tak akan lama bertahan di negeri ini. Apalagi bangsa ini terkenal akan keramahannya ke seluruh dunia. Sudah saatnya bangsa ini untuk berpikir sejenak sebelum bersuara dan lebih arif dalam menilai suatu masalah.