Adalah Clara Sumarwati (44 thn) wanita Indonesia pertama yang mendaki puncak Everest pada tahun 1996. Bahkan bukan hanya itu saja, Clara juga memecahkan rekor sebagai pendaki pertama dari Asia Tenggara yang berhasil mencapai Gunung Everest di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut. Atas prestasinya tersebut Clara mendapatkan penghargaan Bintang Nararya dari pemerintah.
Sayang, prestasi Clara justru memberikan hasil yang tak diharapkan. Keberhasilan Clara tidak mendapatkan pengakuan dari pihak keluarga dan lingkungan sekitar rumah. Clara yang tinggal bersama orang tuanya di Minggiran, Sleman, Yogyakarta kemudian kecewa karena merasa kurang dihargai.
Kekesalan tersebut menimbulkan rasa frustasi pada diri Clara. Terlebih hal itu dialami secara berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan dimusuhi orang lain. "Diaran-arani orang kalau istilah Jawanya," ujar Haryono. Haryono adalah dokter yang merawat Clara di RSJ Prof Soerojo, Magelang, Jawa Tengah.
Hal lainnya yang juga bisa menjadi penyebab adalah sejumah peristiwa dalam proses pendakian yang dialami Clara. Menurut Haryono, Clara mengaku sempat membuka alat pernapasan saat berada di puncak Everest.
"Itu merupakan faktor ketegangan-ketegangan yang bisa menimbulkan orang tension atau coincident, yaitu mengalami kejadian yang menakutkan. Sebab kekurangan oksigen menyebabkan rasa nyeri yang tidak karuan," ungkap Haryono.
Namun, sambung Haryono, masalah tersebut bukan faktor utama penyebab labilnya kejiwaan Clara. "Tumpukan kekecewaan, tumpukan situasi yang membuat tegang, konflik-konflik dan sejenisnya, ditambah perhatian yang diberikan oleh keluarga dan lingkungan sangat kurang bagi Clara, menjadi faktor utama," tegas Haryono.
Wajar jika Clara merasa kecewa, setelah prestasinya kurang dihargai, kepulangannya ke rumah ortunya pun juga mengalami penolakan. Bukah hanya dari keluarga namun juga dari lingkungan sekitar.
Meski saat ini kondisinya sudah membaik, namun keluarga dan warga sekitar khawatir jika sewaktu-waktu Clara kumat kembali.
Clara mulai menjalani pengobatan penyakit jiwanya sejak tahun 1997 atau satu tahun setelah berhasil mencapai puncak Everest, dan mulai dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof.dr Soerojo di tahun yang sama.
Menurut pihak RSJ, Clara adalah pasien kambuhan yang sudah tiga kali ini menjalani perawatan di RSJ. Gangguan jiwa yang dideritanya beberapa kali kambung karena Clara tidak rutin mengonsumsi obat.
Prestasi Clara dan keberadaannya sebagai sosok istimewa yang pernah mengharumkan nama bangsa baru terungkap pada minggu lalu ketika ada sejumlah tim penilai pemuda pelopor dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga yang datang untuk menilai Poppy Safitri, wakil kontingen Jawa Tengah untuk lomba pemuda pelopor tingkat nasional. Salah satu aktivitas Poppy adalah mengajar tari di RSJ. Dalam kunjungan ke RSJ itulah, salah satu anggota tim mengenali sosok Clara.
Impian Clara
Wanita lajang kelahiran Yogyakarta 6 Juli 1967 itu mengaku masih memimpikan mendaki 4 puncak gunung tertinggi lainnya. Keempat puncak gunung itu adalah di Gunung Elbrus (Rusia), Gunung Vincon Massive (Antartika), Gunung Denali (Amerika), dan Pegunungan Kilimanjaro (Afrika Selatan). Clara sangat ingin bisa menaklukan keempat puncak gunung tertinggi di dunia itu.
"Kalau sudah keluar saya ingin tetap mendaki kembali. Saya memimpikan itu. Sempat saya rencanakan pada tahun 2006, tetapi batal karena tidak ada yang mengawal saya dan izinnya tidak keluar," ujar Clara
Meski mengaku telah bertemu presiden SBY di istana, mimpi Clara masih tersandung masalah perizinan. Menurut Clara, dirinya sulit mendapatkan izin karena proses birokrasi yang berbelit-belit. Kondisi ini berbeda dengan saat dirinya mengurus berbagai keperluan untuk pendakian sebelumnya.
"Kita sudah siap, cuma di Menpora suratnya untuk menjelaskan bahwa saya benar-benar orang Indonesia susah keluar. Sebab kalau ada apa-apa government to government susah. Suratnya kayak semacam jaminan," tegas Clara.
Diakui Clara, permasalah ini membuat dirinya jengkel dan stres. Dia sangat menyesalkan mengapa pemerintah tidak mengeluarkan izin untuk mendaki 4 puncak gunung tersebut.
"Saya sudah mengajukan dana sebesar Rp 17 miliar karena akan mendaki 5 puncak. Dana yang dibutuhkan memang sangat banyak sebab untuk biaya pendekomuntasian sebagai bukti," jelas Clara.
Jika impiannya mendaki empat gunung tertinggi di dunia itu tak terwujud hingga 2010 nanti, Clara berniat membuka toko perlengkapan mendaki gunung.
Sayang, prestasi Clara justru memberikan hasil yang tak diharapkan. Keberhasilan Clara tidak mendapatkan pengakuan dari pihak keluarga dan lingkungan sekitar rumah. Clara yang tinggal bersama orang tuanya di Minggiran, Sleman, Yogyakarta kemudian kecewa karena merasa kurang dihargai.
Kekesalan tersebut menimbulkan rasa frustasi pada diri Clara. Terlebih hal itu dialami secara berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan dimusuhi orang lain. "Diaran-arani orang kalau istilah Jawanya," ujar Haryono. Haryono adalah dokter yang merawat Clara di RSJ Prof Soerojo, Magelang, Jawa Tengah.
Hal lainnya yang juga bisa menjadi penyebab adalah sejumah peristiwa dalam proses pendakian yang dialami Clara. Menurut Haryono, Clara mengaku sempat membuka alat pernapasan saat berada di puncak Everest.
"Itu merupakan faktor ketegangan-ketegangan yang bisa menimbulkan orang tension atau coincident, yaitu mengalami kejadian yang menakutkan. Sebab kekurangan oksigen menyebabkan rasa nyeri yang tidak karuan," ungkap Haryono.
Namun, sambung Haryono, masalah tersebut bukan faktor utama penyebab labilnya kejiwaan Clara. "Tumpukan kekecewaan, tumpukan situasi yang membuat tegang, konflik-konflik dan sejenisnya, ditambah perhatian yang diberikan oleh keluarga dan lingkungan sangat kurang bagi Clara, menjadi faktor utama," tegas Haryono.
Wajar jika Clara merasa kecewa, setelah prestasinya kurang dihargai, kepulangannya ke rumah ortunya pun juga mengalami penolakan. Bukah hanya dari keluarga namun juga dari lingkungan sekitar.
Meski saat ini kondisinya sudah membaik, namun keluarga dan warga sekitar khawatir jika sewaktu-waktu Clara kumat kembali.
Clara mulai menjalani pengobatan penyakit jiwanya sejak tahun 1997 atau satu tahun setelah berhasil mencapai puncak Everest, dan mulai dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof.dr Soerojo di tahun yang sama.
Menurut pihak RSJ, Clara adalah pasien kambuhan yang sudah tiga kali ini menjalani perawatan di RSJ. Gangguan jiwa yang dideritanya beberapa kali kambung karena Clara tidak rutin mengonsumsi obat.
Prestasi Clara dan keberadaannya sebagai sosok istimewa yang pernah mengharumkan nama bangsa baru terungkap pada minggu lalu ketika ada sejumlah tim penilai pemuda pelopor dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga yang datang untuk menilai Poppy Safitri, wakil kontingen Jawa Tengah untuk lomba pemuda pelopor tingkat nasional. Salah satu aktivitas Poppy adalah mengajar tari di RSJ. Dalam kunjungan ke RSJ itulah, salah satu anggota tim mengenali sosok Clara.
Impian Clara
Wanita lajang kelahiran Yogyakarta 6 Juli 1967 itu mengaku masih memimpikan mendaki 4 puncak gunung tertinggi lainnya. Keempat puncak gunung itu adalah di Gunung Elbrus (Rusia), Gunung Vincon Massive (Antartika), Gunung Denali (Amerika), dan Pegunungan Kilimanjaro (Afrika Selatan). Clara sangat ingin bisa menaklukan keempat puncak gunung tertinggi di dunia itu.
"Kalau sudah keluar saya ingin tetap mendaki kembali. Saya memimpikan itu. Sempat saya rencanakan pada tahun 2006, tetapi batal karena tidak ada yang mengawal saya dan izinnya tidak keluar," ujar Clara
Meski mengaku telah bertemu presiden SBY di istana, mimpi Clara masih tersandung masalah perizinan. Menurut Clara, dirinya sulit mendapatkan izin karena proses birokrasi yang berbelit-belit. Kondisi ini berbeda dengan saat dirinya mengurus berbagai keperluan untuk pendakian sebelumnya.
"Kita sudah siap, cuma di Menpora suratnya untuk menjelaskan bahwa saya benar-benar orang Indonesia susah keluar. Sebab kalau ada apa-apa government to government susah. Suratnya kayak semacam jaminan," tegas Clara.
Diakui Clara, permasalah ini membuat dirinya jengkel dan stres. Dia sangat menyesalkan mengapa pemerintah tidak mengeluarkan izin untuk mendaki 4 puncak gunung tersebut.
"Saya sudah mengajukan dana sebesar Rp 17 miliar karena akan mendaki 5 puncak. Dana yang dibutuhkan memang sangat banyak sebab untuk biaya pendekomuntasian sebagai bukti," jelas Clara.
Jika impiannya mendaki empat gunung tertinggi di dunia itu tak terwujud hingga 2010 nanti, Clara berniat membuka toko perlengkapan mendaki gunung.