Obat puyer adalah campuran dari beberapa jenis obat tablet atau kaplet yang biasanya terdiri dari sedikitnya dua jenis obat, dengan cara dihancurkan dan dihaluskan. Dalam perkembangannya jenis obat yang digunakan meluas ke jenis kapsul, sirup atau injeksi. Obat puyer umumnya diberikan ke pasien anak-anak, karena sifatnya yang berbentuk bubuk sehingga mudah diterima oleh pasien anak-anak.
(obat puyer - sumber foto : majalah farmacia)
Pengunaan puyer melebar dengan luas di pengobatan modern barat, namun dengan kemajuan teknologi, puyer semakin jarang digunakan di seluruh dunia. Selain karena kemajuan teknologi yang menghasilkan berbagai jenis obat baru yang lebih aman, mudah digunakan, dan nyaman bagi pasien, sediaan obat puyer dianggap bersifat kurang stabil. Dengan demikian, lebih mudah rusak, takaran kurang akurat, dan penggunaannya juga menimbulkan rasa kurang nyaman (rasa pahit). Di Indonesia, puyer telah digunakan sejak dahulu kala, jauh sebelum pengobatan modern hadir di Indonesia. Jamu sebagai ramuan obat asli Indonesia sejak ratusan tahun lalu salah satu bentuk sediaannya yang mirip dengan puyer.
Kontroversi tentang puyer mulai dimunculkan oleh RCTI, melalui program berita Seputar Indonesia. Meski telah lama digunakan di Indonesia, ternyata puyer memiliki beberapa kekurangan, sehingga sudah layak untuk ditinggalkan. Di pengobatan modern barat, saat ini jenis puyer sudah tidak digunakan lagi. Pemberitaan ini menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Masing-masing pihak mengutarakan alasan mendukung opini - nya. Berikut opini yang muncul dirangkum dari berbagai sumber :
Pendukung puyer
Apoteker dan dokter berhak untuk meracik serta membuat sediaan obat sesuai peraturan yang ada.
Sediaan obat puyer relatif mudah untuk disiapkan dan takarannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Sedangkan, sediaan obat jadi dari pabrik obat memiliki takaran yang standar dan kadang kurang sesuai dengan kebutuhan pasien khusus, misalnya pasien anak yang harus disesuaikan takarannya dengan berat badan anak.
Menyatakan bahwa puyer lebih murah dari jenis lain. Pendapat ini juga dibantah oleh pihak penolak puyer.
Penolak puyer
Sediaan obat seharusnya hanya dibuat di pabrik yang memiliki standar cara pembuatan obat yang baik dan memiliki nomor register dari pemerintah. Menurut mereka, obat seharusnya bukan dibuat/diracik di apotek atau tempat praktik dokter yang mungkin kurang memenuhi standar kebersihan, ketepatan takaran, dan tidak didaftarkan ke pemerintah.
Isi sediaan obat puyer biasanya sulit diketahui dengan mudah oleh orang lain karena ketiadaan label sehingga jika terjadi masalah, misalnya alergi, keracunan, atau interaksi, sulit untuk mengetahui zat aktif obat yang mana yang menyebabkannya.
Berbagai obat tidak dibuat untuk dihancurkan dalam bentuk puyer. Misalnya, sediaan lepas lambat atau obat dengan teknik pelapisan (coated). Hal itu bertujuan agar dapat ”pecah” hanya pada bagian saluran cerna tertentu atau mencegah obat cepat rusak. Jika obat semacam itu dihaluskan atau dihancurkan untuk dibuat puyer, akan mengganggu kesehatan penggunanya atau kurang efektif khasiatnya karena sudah rusak terlebih dulu.
Sebagian sediaan obat puyer yang merupakan campuran dari berbagai obat juga dapat membahayakan penggunanya jika dokter dan apoteker yang memberikan resep/meracik puyer kurang memerhatikan hal interaksi di antara zat aktif obat-obat itu.
Pendapat bahwa puyer lebih murah dari jenis obat lain, dibantah oleh pihak penolak puyer. Mereka beranggapan justru dengan mencampur berbagai jenis obat, ditambah dengan biaya peracikan ; justru akan menambah biaya puyer.
Saya melihat kontroversi yang "sengaja" dimunculkan ini justru menimbulkan kebinggungan di masyarakat. Sudah sewajibnya pihak yang berwenang - pemerintah turun tangan dengan memberikan aturan yang jelas. Apakah puyer bisa digunakan ? Jika bisa, toleransi apa yang harus dipatuhi peracik ? Peraturan seperti ini yang harus ditegaskan oleh pemerintah. Meskipun memberitakan dengan tujuan baik, RCTI juga perlu memberitakan dengan cara berimbang dan proporsional. Saya kawatir akan nilai "kejujuran" dalam hal pemberitaan. Bukankah tak mungkin RCTI ditunggangi oleh pihak tertentu, dalam hal ini perusahaan farmasi besar yang jelas-jelas tersaingi dengan munculnya puyer. Dalam sumber lain diberitakan bahwa pengunaan puyer di apotik bisa mencapai 70 - 80 persen dari total sediaan obat yang ditebus oleh pasien. Nah, bisa diperkirakan jumlah kerugian dan persaingan bagi perusahaan farmasi besar kan ? Sekarang "bola panas" ada di tangan pemerintah. Semoga pemeritah bisa mengatasi hal ini dengan jalan terbaik, sehingga masyarakat mendapatkan pengobatan dan kesehatan terbaik. Semoga.