- Jusuf Kalla (JK) dengan Wiranto, diusung oleh Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
- Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Boediono, diusung oleh Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ketiga pasangan ini akan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini, karena pendaftaran pasangan capres-cawapres akan ditutup hari ini.
Setelah melalui proses negosiasi yang berliku, ketiga pasangan ini mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu presiden esok. Hanya saja, apakah ketiga pasangan ini layak untuk memimpin bangsa Indonesia ini ? Dari ketiga pasangan tersebut, praktis hanya Boediono saja yang tidak berasal dari partai politik. Hal inilah yang sempat dipersoalkan oleh koalisi Partai Demokrat. Berbagai opini pro - kontra sempat muncul terkait pencalonan Boediono. Dari keberatan tentang dukungan partai politik, isu ekonomi neo - liberalisme sampai isu suku jawa.
Sejak pemilihan legislatif berakhir, partai - partai politik sibuk untuk mencari koalisi. Paling "getol" diperlihatkan oleh PDIP yang dari awal terlihat "sehati" dengan Gerinda dan Hanura. Awalnya Golkar pun terlihat cocok dengan Demokrat. Namun, entah karena "gensi" atau "yakin menang" Golkar memisahkan diri dari Demokrat dan mengaet Hanura untuk mencalonkan JK - Wiranto sebagai capres dan cawapres.
Yang menarik adalah proses tarik-ulur antara Gerinda dan PDIP yang sama-sama mencalonkan Megawati dan Prabowo sebagai calon presiden. Entah bagaimana, akhirnya kedua pihak akhirnya bisa menemui kata sepakat dan mencalonkan diri sebagai pasangan capres - cawapres.
Setelah mencalonkan diri dan mendaftarkan diri, ketiga pasangan ini akan berkampanye. Janji yang ditawarkan mungkin tidak akan berbeda jauh. Seputar masalah rakyat pastinya. Hanya saja memang rakyat yang diperjuangkan atau hanya sekedar meraih suara terbanyak agar menjadi orang nomor satu di negeri ini dan memperoleh kekuasaan serta harta melimpah ?
Dalam pencalonannya duet Mega-Prabowo menyatakan program ekonomi kerakyatan sebagai tujuan akhir. Benarkah Megawati bisa mencapai dan memperjuangkan "wong cilik" yang justru terlupakan saat beliau menjabat sebagai RI - 1 di negara ini ? Tak heran jika masih ada beberapa pihak yang bersikap sketis tentang pencalonan kembali Megawati. Bagaimana dengan Prabowo ? Prabowo memang memiliki latar belakang militer yang cemerlang. Dukungan finansial melimpah-lah yang diyakini mampu membuat Gerinda meraih 10 besar pemilu legistatif kemarin. Namun, jangan lupakan saat pencopotan jabatan militer- nya setelah kasus Mei 1998, dimana Probowo "gambek" dan langsung mendatangi Presiden Habibie. Beberapa pihak juga masih mempertanyakan posisi Prabowo dalam kasus Mei 1998. Terkait sifat "gambek", Megawati pernah melakukan hal yang sama, saat beliau tidak hadir dalam acara pelantikan SBY sebagai presiden di tahun 2004 lalu. Saat ini pun Megawati terlihat enggan untuk bertemu SBY.
Tak jauh berbeda, pasangan JK-Wiranto juga mengusung ekonomi kerakyatan sebagai platform kampanyenya. Slogan "Lebih Cepat Lebih Baik" menjadi ikon pasangan ini. Kedua orang ini sebelumya tergabung dalam satu partai Golkar, bahkan sempat bersaing dalam pemilu 2004. Saat ini JK berpasangan dengan SBY dan Wiranto dengan Gus Solah. Kecewa dengan hasil pemilu 2004, Wiranto pun putar haluan dan mendirikan Hanura. Tak sia-sia, Hanura pun meraih 10 besar pemilu legislatif lalu. Latar belakang JK sebagai pengusaha nampaknya kurang menyakinkan bahwa beliau akan berekonomi kerakyatan. Bukankah selama ini pengusaha lebih mengutamakan keuntungan dari pada kerugian ? Sikap JK pun terasa kurang karena tidak adanya kewibawaan yang muncul dari diri beliau. Wiranto dengan sikap kalem dan "jaim" (mirip SBY) memiliki karir militer yang cemerlang. Berkat beliaulah kasus Mei 1998 tidak berujung kudeta militer. Hanya saja, beberapa pihak masih mempertanyakan keterkaitan Wiranto dengan kasus Mei 1998.
Duet SBY-Boediono, sepertinya masih merupakan pasangan yang paling mirip dengan keinginan banyak pihak di negeri ini. Buktinya pasangan ini menempati posisi pemenang dalam berbagai survey yang dilakukan. Sosok SBY masih menjadi "magnet" yang memikat. Bahkan dalam pemilu legislatif lalu, PKS dengan tegas mendukung SBY menjadi presiden. Sosok Boediono telah dikenal lewat keahliannya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi 1998 dan di saat krisis global sekarang, Indonesia bersama Cina dan India, tercatat sebagai negara besar dengan pertumbuhan ekonomi positif. Ideal ? Mungkin saja, karena SBY dan Boediono dikenal sebagai sosok yang bersih. Namun munculnya kekawatiran dari kalangan tertentu akan kelanjutan ekonomi bangsa ini. Boediono terkenal akan konsep neo-liberalismenya, beberapa BUMN pun berpindah ke pihak asing. Kekawatiran muncul jika Boediono terus melanjutkan program ekonomi ini. Bagaimana mungkin bangsa besar ini menjual aset nya ke negara lain ? Meski telah menegaskan adanya batasan ekonomi neoliberalis dalam pencalonan kemarin, masih perlu ditunggu janji Boediono selanjutnya. SBY selama lima tahun ini terbilang cukup mulus memimpin bangsa ini. Kasus yang cukup mencolok adalah kenaikan BBM (meski diturunkan kembali) , konversi minyak tanah ke elpiji dan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terkesan tidak mendidik rakyak. Meski kasus korupsi banyak terungkap, namun beberapa kasus pelanggaran HAM masih tertutup rapat. Bagaimana dengan kasus Soeharto ?
Ketiga pasangan di atas lah yang nantinya akan memimpin bangsa ini. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menerima presiden dan wakil presiden yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu esok. Jadi sebelum bangsa ini semakin "salah kaprah", sumbangkan suara anda dalam pemilu presiden esok. Ngak ada yang cocok ? Tetaplah memilih, seperti judul topik ini "benci tapi butuh". Walapun benci, namun kita juga membutuhkan pemimpin bagi kemajuan bangsa ini, iya khan ?