Polemik RUU Film

Seperti yang ramai diberitakan, Komisi X DPR akhirnya telah menyepakati draf RUU Film yang disahkan dalam sidang paripurna Selasa (8/9/2009) kemarin. Salah satu poin yang disepakati untuk disahkan menjadi bagian Undang-undang Perfilman adalah peredaran film asing dibatasi. “Dalam Undang-undang ini diatur bahwa 60 persen pasar perfilman di Indonesia harus diisi produksi dalam negeri,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik. “Film asing bisa mengisi 40 persen sisanya,” ujar Wacik dalam pandangan akhir saat pengesahan RUU di gedung parlemen, Senayan, Jakarta.
Sejak dari RUU, UU Perfilman ini mengundang pro-kontra, terutama dari kalangan sineas film Indonesia. Lalu, apa sebenarnya yang menimbulkan keprihatinan para penggiat film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia itu? Terdapat sejumlah pasal yang mengandung aturan baru atau sama sekali berbeda dengan UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Berikut pasal - pasal UU Film yang dipersoalkan :
  • Pasal 6 misalnya, mengatur secara rinci sejumlah larangan isi yang boleh ditampilkan dalam film. Film dilarang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, menonjolkan pornografi, memprovokasi pertentangan kelompok, antarsuku, dan atau antargolongan, menistakan agama, dan merendahkan harkat martabat manusia.
  • Pasal 13 mengatur pengedaran film impor tak boleh melebihi 50 persen. Pada pasal 32, diatur pula pertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh jam pertunjukan film, kecuali dalam hal sediaan film Indonesia tidak cukup.

Kedua aturan baru ini dilengkapi sanksi pidana pada pasal 75. “Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

  • Pasal 18 mengatur pembuatan film harus mengajukan pendaftaran kepada menteri disertai judul, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Ketentuan pendaftaran ini diprotes Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan diganti pemberitahuan. Pasal 18 juga mengatur pemberitahuan tak dipungut biaya dan dilakukan paling lambat tiga hari sebelum film dibuat.
  • Pasal 23 mengatur, pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan dengan izin menteri.
  • Pasal 42 mengatur pula, pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang berpengaruh negatif terhadap nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
  • Pasal 44 mengatur, pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor ke dalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau penelitian.

Rancangan Undang-Undang Perfilman yang akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR Selasa (8/9). Dari 10 fraksi yang ada, satu fraksi menyatakan abstain yakni PDI Perjuangan. Juru bicara Fraksi PDIP Deddy Sutomo menyatakan undang-undang tersebut belum ideal. “Masih banyak ide dan gagasan cerdas yang belum terakomodir,” kata Deddy dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR.
Bagi sineas film, UU film dianggap mengancam masa depan film Indonesia yang sedang bagus -bagusnya saat ini. Seperti yang diunggkapkan oleh artis film nasional ; Dedy Mizwar mengemukakan, dirinya menolak keras pengesahan RUU perfilman menjadi UU. “UU ini nanti bisa mematikan industri film nasional,” katanya
Menurutnya, RUU ini mengandung dua masalah, pertama sebanyak 31 pasal mengatur tata niaga dan perizinan dan kedua, sebanyak 18 pasal pidana dan ancaman. “kalau UU ini disahkan maka industri film kita akan lumpuh total dan banyak insan perfilman terancam hukuman penjara, ” tegasnya.
Ungkapan serupa dilontarkan oleh sutradara Laskar Pelangi; Riri Riza. "Saya menolak pengesahan UU Perfilman hari ini. Kami memberi masukan tanggal 1 September, tapi tanggal 8 September disahkan. Ini terlalu terburu-buru," ucap Riri.
"Jangan mengejar masa bakti yang sudah habis untuk UU yang baik," ujar Riri yang dalam aksinya tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia.
Dikatakan Riri, UU Perfilman yang akan disahkan mengalami kemunduran jauh dari UU yang dibuat sebelumnya. Apalagi ada pasal yang menyebutkan tidak diperbolehkan membuat film yang ada unsur kebencian.
"Kalau seperti ini, akan banyak film yang tidak bisa dibuat di Indonesia. Misalnya mau buat film konflik di Poso, itu tidak bisa. Harusnya batasannya itu publik yang menilai," pungkas Riri.

Soal ribut atau beda pendapat antara DPR dan masyarakat bukanlah kali pertama, masih ingat dengan UU Pornografi ? Sama dengan kasus RUU Film sekarang, meski dengan konteks dan penolakan yang berbeda. DPR sebagai wakil rakyat seharusnya bisa mengapresiasikan keinginan rakyak sekaligus melindungi rakyat. UU yang dihasilkan seharusnya bukan menimbulkan polemik, namun bisa mengayomi masyarakat.
Inilah alam demokrasi Indonesia saat ini. Bebas berekspresi dan berpendapat. DPR hanya tinggal "pasang telinga" baik-baik; dengarkan aspirasi rakyat. Sebaiknya sebelum membuat UU baru, DPR lebih baik mengevaluasi pelaksanaan hukum di Indonesia. Buat apa UU mengesahkan UU sebanyak mungkin, namun penegakan hukumnya "nol besar" atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali ?
Mungkin sebaiknya DPR buat UU anti penyalahgunaan jabatan dan UU anti korupsi atau UU dilarang tidur saat sidang dan UU wajib hadir saat sidang ! Nah, ini baru sip top mar-ko-top..!