Kasus yang mencuat saat ini adalah kasus dugaan markus atau pengelapan pajak oleh Gayus Tambunan. Seorang staf dirjen pajak yang memiliki dana sebesar 25 milyar di rekening tabungannya. Adalah hal yang aneh, jika menilik posisi Gayus yang merupakan gologan IIIA dengan gaji 11 - 12 jt/bulan, namun bisa memiliki rekening dengan nominal sebesar itu. Kekayaan Gayus bukan hanya berupa 25 miliyar, namun juga sebuah apartemen dan rumah mewah di Jakarta. Kontroversi Gayus dimulai dari pengakuan mantan Kabareskrim Polri; Susno Duaji yang mengatakan adanya markus di intansi Polri.
Ibarat bola salju, kasus ini semakin membesar. Dirjen Pajak selaku institusi yang paling disorot atas kasus ini. Pertanyaan nya adalah "bagaimana pengawasan internal dari Dirjen Pajak, sehingga terjadi pembobolan ini?"
Beberapa orang yang merasa kecewa dengan oknum dirjen pajak kemudian mendirikan gerakan di facebook dengan nama "gerakan 1 juta Facebooker dukung boikot bayar pajak untuk keadilan". Jumlah anggota dukung boikot bayar pajak saat ini sudah mencapai nyaris 12.500 orang.
Hampir semua anggota gerakan ini meluapkan kekecewaanya. Bahkan jargon dari dirjen pajak yakni: bayar pajak, awasi penggunaannya, ditambah menjadi : awasi pengunaan pajak, awasi juga aparatnya"
Posisi karyawan pajak yang rentan terhadap uang haram telah dipikirkan oleh Departemen Keuangan sejak tahun 2006. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menaikan gaji pengawai hingga nyaris 400 persen sejak tahun 2007. Namun ternyata korupsi tak juga hilang. Sebaiknya Dirjen Pajak menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk meyakinkan masyarakat Indonesia, bahwa reformasi telah terjadi. Jangan sampai justru muncul slogan baru di masyarakat : "hari gini ngak bisa awasi uang rakyat? Apa kata dunia?"